Pada
masa pemerintahan Soekarno etnis Tionghoa diberikan kebebeasan untuk bergerak
di bidang politik. Hal ini dilihat dari munculnya orang Tionghoa yang memiliki
jabatan sebagai menteri pada masa itu, salah satunya adalah Lie Kiat Teng yang
menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Pemerintah Soekarno juga membolehkan etnis
Tionghoa mengekspresikan
kebudayaan mereka serta menjalankan agama dan
keyakinan mereka.
Pada
masa Soekarno, pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP
No.10/1959 yang isinya melarang orang-orang
Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Insiden ini terjadi karena interaksi
antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya tidak terjalin dengan baik. Hal lain
yang menjadi masalah utama munculnya peraturan tersebut adalah karena
kesenjangan perekonomian yang terlihat jelas antara pedagang Tionghoa
dibandingkan dengan pedagang yang berasal dari etnis lain. Peraturan ini
membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi etnis
Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di
desa-desa. Sebagai tandingan dalam persaingan usaha perdagangan antara etnis
Tionghoa dengan etnis lainnya, pemerintahan memperkenalkan program Benteng agar
mampu mengimbangi para pedagang Tionghoa.[1] Akibat
dari kebinjakan ini, orang-orang Tionghoa terpaksa meninggalkan pemukiman
mereka yang telah terbentuk di pedesaan-pedesaan. Sepanjang tahun 1959 hingga
1960, himbauan pengusiran terhadap etnis Tionghoa didukung oleh pihak TNI AD.
136.000 orang Tionghoa angkat kaki dari Indonesia menuju negara lain, sedangkan
100.000 di antaranya kembali ke Tiongkok.[2]
Pengusiran
terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di desa-desa dampaknya di Padang tidak
terlalu terlihat karena Padang merupakan suatu daerah perkotaaan dan merupakan
daerah rantaunya orang Minangkabau. Maka peraturan tentang perekonomian yang
dikeluarkan pemerintah Soekarno yang melibatkan orang Tionghoa di Padang tidak
terlalu berpengaruh.
Masa
peralihan kekuasaan berpindah ke tangan Soeharto setelah terjadinya peristiwa
G30S. Etnis Tionghoa yang dilabeli sebagai komunis yang dianggap menjadi dalang
dalam peristiwa tersebut akhirnya kembali mendapat perlakuan secara khusus.
perlakuan khusus tersebut juga berdampak terhadap Klenteng See Hin Kiong di
Padang.
Riniwaty Makmur.
(2018). Orang Padang Tionghoa: Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang
[1]
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi
dan Politik Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 2009). Hlm 312.
[2]
J.A.C.Mackie. Anti Chinese Outbreak in Indonesia
1959-1968, dalam The Chinese in Indonesia: Five Essays. (Melbourne: Thomas
Nelson, 1976). Hlm 82,