Sulit diketahui sejak kapan
kelenteng pertama kali didirikan di Indonesia, akan tetapi diperkirakan sudah
ada sejak imigran Tionghoa datang ke Nusantara. Sebagai pendatang, imigran Tionghoa
cenderung berkelompok dan membangun kelenteng untuk beribadah dan berkumpul
terutama di Palembang dan sepanjang Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa seperti
Banten, Cirebon, Tuban, dan Gresik.[1]
Pada awalnya kelenteng adalah
tempat penghormatan pada leluhur atau penghormatan pada dewa saja, namun
seiring dengan perkembangannya, kelenteng mulai dijadikan sebagai tempat
berkegiatan sosial dan pengembangan kebudayaan.
Kebanyakan permukiman
Tionghoa selalu dilengkapi dengan bangunan
kelenteng. Dengan masuknya pendatang Tionghoa ke
Padang mengakibatkan pengadaan kelenteng
sangat diperlukan.
Kepercayaan masyarakat Tionghoa cenderung
melandaskan pembangunan kelenteng
berpedoman pada apa yang disebut Fengshui.[2]
Landasan ini bertujuan agar
tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan bagi yang memakai atau menempatinya.
Fengshui merupakan salah satu dari lima seni Tiongkok kuno yang sampai sekarang
banyak dipraktekkan, yaitu gunung (Shan)
yang bertujuan untuk mencapai umur panjang melalui meditasi dan latihan fisik,
pengobatan (Yi), pembacaan nasib (Ming), pemujaan (Bu), dan pengamatan
fisik (Xiang) yang merupakan seni yang
bertujuan untuk mengetahui suatu keadaan berdasarkan bentuk fisik yang ada.
Fengshui bertujuan untuk membaca bentuk fisik rumah dan mengatahui pengaruh
rumah tersebut terhadap orang yang tinggal didalamnya.[3]
Dari beberapa unsur bangunan dan ornamen kelenteng terdapat gaya
arsitektur dari bangunan masyarakat Indonesia, terutama dalam bentuk atapnya
yang dihiasi ornamen seperti naga dan burung. Seperti pada gaya arsitektur
dalam relief-relief percandian Zaman Majapahit. Jelas sekali adanya pengaruh
Tionghoa pada Seni Bangunan.[4]
Kelenteng See Hin Kiong merupakan kelenteng tertua di Padang dan satu-satunya
kelenteng yang ada di
Padang yang berada di Jl. Kelenteng No.312,
Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Dari segi
strategis Kelenteng See Hin Kiong
berada pada 0′ 57′ 44.1′′ arah selatan dan 100′ 21′ 44.0′′ arah barat. Akses ke
kelenteng pun sangat mudah, berada di pinggir jalan raya kota di areal pusat
pertokoan dan permukiman
padat dan dapat diakses dengan kendaraan roda dua atau roda empat. Kelenteng See Hin Kiong berada pada lahan seluas 27.3x20.5 (559,65 m2)
dan bangunan kelenteng berukuran 15.5x15.5 (240,25 m2). [5]
kelenteng See Hin Kiong tahun 1880
Pada mulanya kelenteng yang
didirikan pada tahun 1841 ini bernama Kelenteng Kwan
Im Teng. Kelenteng ini dibangun oleh suku Tjiang dan Tjoan Tjioe yang berasal
dari Tiongkok. Bukti pendirian dapat dilihat melalui tulisan yang tertera
dilonceng (genta)
pertama yang terletak di tengah-tengah bangunan kelenteng tersebut. Pada mulanya
kedatangan suku Tjiang dan Tjoan Tjioe ke Padang untuk berniaga
(dagang). Walaupun kelenteng ini didirikan oleh suku Tjiang dan Tjoan
Tjiu, namun kelenteng ini dapat
digunakan untuk semua masyarakat Tionghoa dari suku yang berbeda yang ada di
Padang.[6]
Kelenteng See Hin Kiong merupakan bangunan dari kayu dengan atap yang terbuat
dari seng. Pada tahun 1861, karena kelalaian dari Sae Kong (pandita)[7]
terjadilah kebakaran sehingga kelenteng tersebut menjadi abu. Pada masa Lie Goan Hwat menjadi kapten, ia bersama
dengan Letnan Lie Lien It serta
Letnan Lim Sun Mo sepakat untuk
membangun kembali Kelenteng yang telah terbakar.
Setelah bermufakat, Lie Goan Hoat berkata:
“Segala pekerjaan wajib di lanjutkan dan tidak akan
disia-siakan, sekarang Kwan Im Teng
sudah terbakar, karena itu haruslah didirikan kembali yang baru tetapi
ongkosnya amat besar, bagaimanakah akan berbuat?”
Adanya keputusan rapat antara Lie Goan Hoat dengan Letnan Lie Lien It serta Letnan Lim Sun Mo Kelenteng Kwan
In dibangun dengan bantuan dana dari
penyewaan los bambu yang dijadikan sebagai pasar. Hasil dari pasar itu dipungut
untuk pembayaran uang pinjaman tersebut. Pasar tersebut dinamai dengan pasar Tanah Kongsi.[8]
Pembangunan dimulai pada tahun 1893
hingga selesai tahun 1905 (tanggal
Khong Soe 23 Tahun Theng Yoe). Hal itu dibuktikan dengan
adanya batu prasasti yang ada di sisi dalam bangunan kelenteng. Salah satu
kesulitan dalam pembangunan kelenteng ini adalah tenaga teknis (tukang kayu)
yang sangat sulit didapatkan untuk membangun kelenteng karena arsitektur
bangunan kelenteng ini sangat spesifik, dan diluar daerah rantau Tionghoa
sedikit sekali ditemukan adanya kelenteng sehingga keberadaan tukang kayu yang
bisa untuk melaksanakan pembangunan kelenteng ini juga sangat susah.
Lie
Goan Hoat berkata:
“Pekerjaan ini ada memberi pahala pada negeri dan akan
mengembirakan hati” [9]
Berdasarkan fakta tersebut maka
Kapten Lie Goan Hoat mengutus seorang
anaknya yang bernama Khong Teek
berlayar ke Tiongkok untuk mencari tukang kayu yang pandai dan ahli untuk
membangun kelenteng. Jumlah keseluruhan tukang kayu yang didatangkan dari
Tiongkok ini adalah 10 (sepuluh) orang.[10]
Pada
tanggal 1 November 1905 pembangunan kelenteng ini rampung, Kelenteng Kwan
Im Teng berganti nama menjadi Kelenteng See Hin Kiong. ”Se” berarti barat
dan kependekan dari Se Tjong, ”Hin” berarti timbul atau terbit (maknanya agama yang
terbit dari “Se Tjong), dan ”Kiong”
berarti balairung atau tempat kedudukan. Jika digabungkan, memiliki arti balairung tempat
kedudukan keramat yang beragama Budha. See
Hin Kiong secara harafiah diartikan “Siapa di antara mereka itu yang keliru
pikirannya, di sanalah tempat ia pergi menenangkan diri, bagi orang yang sakit
boleh bertanya obat apa harus diambil, orang berdagang bisa beruntung dan orang
dalam negeri memperoleh selamat”. [11]
Kelenteng See Hin Kiong memberikan kehidupan yang makmur bagi masyarakatnya karena menghadap ke
Bukit Gado-Gado (Gunung Padang) dan menghadap ke aliran air (Sungai Batang
Arau). Dari cerita leluhur yang berkembang secara turun temurun, diketahui bahwa dari
mulut naga yang ada di atap kelenteng dahulunya selalu menetes air yang tidak
henti-hentinya. Air yang mengalir diyakini sebagai air suci yang bisa
menyembuhkan penyakit. Air tersebut menjadi kering setelah di pinggir Sungai Batang Arau,
tepatnya dihadapan kelenteng dibangun sebuah gedung oleh kapten Tionghoa yang
bernama Gho Tjong pada tahun 1906. Kehadiran gedung tersebut diyakini telah
menutup fengsui Kelenteng See Hin Kiong, sehingga sejak itu air
suci tidak mengalir lagi. Gedung tersebut kemudian dijadikan sebagai Padangsche Spaarbank (Bank Tabungan
Padang) pada tahun 1908.
Pada tahun 1962
Kelenteng See Hin Kiong pernah
kedatangan Bhikkhu Yang Arya Ashin
Jinarakhita yang sekarang dikenal dengan Yang Arya Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera (Ketua
Shangha Agung Indonesia) beliau merupakan tokoh dan pelopor kebangkitan kembali
Agama Buddha di Indonesia. Ia mengubah fungsi Kelenteng See
Hin Kiong menjadi tempat pengembangan ajaran Budha Darma, akan tetapi tidak
menutup ruang bagi penganut Taoisme dan Konghucu untuk menjalankan ritualnya di
Kelenteng See Hin Kiong. Kedatangan
Bhikkhu Yang Arya Bhikkhu Ashin
Jinarakhita ini melatarbelakangi berdirinya Vihara agama budha di Jalan
Kelenteng I/3 Padang yang sekarang kita kenal dengan nama Vihara Budha Warman
yang berarti Cahaya/Sinar Buddha.[12]
Perkembangan Agama
Buddha semakin pesat dan umatpun semakin bertambah, sehingga Vihara Buddha
Warman yang tadinya cukup memadai untuk menampung kegiatan umat Buddha, terasa
semakin sempit, dan juga kondisi gedung yang semakin mengkhawatirkan. Meningkatnya penganut Agama Budha dan
sumbangan dari berbagai umat Budha yang berasal dari Padang maupun kota
lainnya, maka pada tanggal 14 Mei 1989, Vihara Budha Warman dipindahkan ke
gedung yang baru di Jalan Muara No.34 Padang.
[1] Hal ini
dilihat pada catatan Mahuan maupun Feixin yang mengikuti ekspedisi Zheng He,
dan juga catatan Cheng Qingzhao pada masa dinasti Qing
[2] Fengshui
merupakan istilah dalam bahasa Tiongkok yang terdiri dari dua buah kata yaitu
Feng dan Shui. Feng berarti angin, sedangkan Shui berarti air. Dalam masyarakat
Tiongkok, Angin itu melambangkan arah, sedangkan air melambangkan kekayaan.
Kata Fengshui diartikan sebagai seni untuk memanfaatkan arah (lokasi) untuk
memperoleh kekayaan. Berdasarkan
Fengshui, letak yang baik adalah tempat yang dekat sumber mata air,
bukit-bukit, gunung-gunung, dan lembah-lembah di sekeliling bangunan. Hal ini
karena tempat-tempat tersebut memiliki energi vital yang baik. Santos
Chandramuljana. 138 Tanya Jawab FENGSHUI,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004). hlm 2.
[3] Sejak dulu,
Fengshui digunakan secara luas oleh masyarakat Tiongkok, khususnya oleh
kerajaan-kerajaan Tiongkok dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Dengan banyaknya imigrain Tiongkok ke berbagai penjuru dunia, Fengshui pun
banyak dipraktekkan dimana-mana. Banyak gedung di dunia ini yang dibangun
berdasarkan Fengshui.
Santos Chandramuljana, Ibid. hlm
3.
[4] Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam
Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Popuer Gramedia, 2009), hlm. 99.
[5] Balai
Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Deskripsi
Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang. (Padang: Balai Pelestarian Cagar
Budaya Sumatera Barat, 2018). Hlm
11
[6] Lonceng (genta) ini merupakan pesanan warga masyarakat
Tionghoa Padang ke Tiongkok daerah Hokkian
pada tahun 1841 untuk di pakai di Kelenteng See
Hin Kiong. Batu Peringatan dari bangsa Hokkian, Tjiang dan Tjoan Tjioe tinggal di padang: membaharui Se Hin Kiong.
Padang 1 November 1905
[7] Pandita
adalah gelar kehormatan bagi sangha
(persaudaraan suci para bhiksu), khususnya diIndonesia, kepada umat buddha yang
diakui keahlian dan pemahamannya atas ajaran agama Budha. Kata pandita berarti
orang yang bijaksana. Dalam pengertian ini seorang pandita selayaknya menjadi
panutan, pembimbing, dan pembina umat lainnya. Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama: Pendekatan Budaya
Terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Konghucu, di Indonesia Bagian
I. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993). hlm 182.
[8] Batu
Peringatan dari bangsa Hokkian, Tjiang
dan Tjoan Tjioe tinggal di padang: membaharui Se Hin Kiong. Padang 1
November 1905
[9] Menurut
perkataan dari Kapiten Lie Goan Hoat
yang telah berbuat jasa besar itu, tentu “Kwan
Im Teng” akan memberi pahala untuk negeri dan bangsa Tionghoa. Supaya jangan lupa dengan
asalnya. Batu Peringatan dari bangsa Hokkian, Ibid
[12] Erniwati, Asap Hio Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di
Sumatera Barat,(Yogyakarta: Ombak, 2007). hlm 43.