Perbedaan Yang di Persatukan





Kota Padang merupakan wilayah yang kaya akan budaya dan keragamaan etnis. tidak hanya kebudayaan Minangkabau yang berkembang sebagai kebudayaan asli, namun kebudayaan dan ciri-ciri kultur budaya lain turut memperkaya budaya kota Padang. Tionghoa adalah contoh kebudayaan yang ada dan kemudian terus berkembang di wilayah Padang.
Kedatangan etnis Tionghoa sudah terjadi berabad-abad yang lalu menandakan bahwa etnis Tionghoa yang datang ke Indonesia sudah menjadi salah satu etnis yang merupakan bagian dari keberagaman etnis di Indonesia. Asal usul kedatangan bermula dari kepentingan perdagangan, akhirnya menyisakan etnis Tionghoa yang menetap di Sumatera barat termasuk di Padang. Sebagai salah satu etnis yang sudah lama tinggal di Indonesia, posisi etnis Tionghoa sangat dipengaruhi oleh politik negara dimana etnis tersebut tinggal.  Ketika terjadi kudeta tahun 1965 yang diprakarsai oleh kelompok komunis, maka tumbuhlah image yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa identik dengan komunis, karena Tiongkok berorientasi kepada komunis. Kedudukan etnis Tionghoa pun berada pada posisi yang dimarjinalkan. Mereka masih tergantung kepada politik pemerintah yang berlaku sehingga mereka seperti dikontrol oleh otoritas yang sedang berkuasa. 
Pada masa pemerintahan Soeharto kebudayaan Tionghoa mengalami pasang surut terutama dengan dikeluarkan kebijakan Intruksi Presiden No.14 Tahun 1967 yang melarang segala aktifitas berbau Tionghoa. Pelarangan kebudayaan Tionghoa menyebabkan budaya Tionghoa hanya untuk etnis Tionghoa saja dan dilakukan secara tertutup dan sederhana. Semenjak dikeluarkannya Inpres No.14/1967 pada tanggal 6 Desember 1967, perayaan Imlek etnis Tionghoa di kota Padang masih bisa dilaksanakan. Hanya saja secara sangat sederhana sehingga imlek sangat sepi dan hanya dalam lingkungan keluarga saja. Perayaan hanya dilaksanakan di dalam gedung perhimpunan atau di rumah marga. Selain itu etnis Tionghoa juga mengunjungi kelenteng untuk melakukan upacara sembahyang. Tetapi apabila rumah mereka memiliki altar, maka sembahyang juga dapat dilakukan di rumah masing-masing. Pada waktu itu kelenteng hanya dihias sederhana bahkan tidak dibolehkan menggunakan pernak-pernik yang terlalu mencolok. Pernak-pernik seperti Tenglong (Lampion) hanya boleh dipasang didalam rumah. Samseng tidak lagi disajikan. Hal yang selalu dilakukan oleh etnis Tionghoa Padang adalah melakukan sembahyang di pagi hari kemudian berkumpul dengan keluarga di rumah keluarga yang paling tertua untuk makan bersama, selanjutnya membagikan Ang pau.
Memasuki era reformasi, tepatnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, mencabut kebijakan tentang pelarangan penyelelenggaraan kebudayaan orang-orang Tionghoa di depan umum. Kebijakan ini membawa perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Kota Padang. Konghucu kembali diakui sebagai agama resmi. Kelenteng mulai ramai didatangi oleh umat Tionghoa yang ingin bersembahyang. Pada era Abdurrahman hingga Jokowi Malam puncak pergantian Tahun Baru Imlek dirayakan dengan meriah, dimana adanya bunyi-bunyian petasan dan kembang api yang jarang didapat pada masa Pemerintahan Soeharto. Karena etnis Tionghoa sudah mendapat izin dari pemerintah Daerah untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Sehingga perayaan Tahun Baru Imlek sangat jauh berbeda dari masa Pemerintahan Soeharto. Kelenteng kembali berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya masyarakat Tionghoa Padang.

RoberBastian