Ekspansi Kolonial Keluar Jawa 1850 – 1870

Ekspansi Kolonial Keluar Jawa 1850 – 1870





SEJARAH INDONESIA ZAMAN PENGARUH BARAT
“Ekspansi Kolonial Keluar Jawa 1850 – 1870”

unp.jpg



Oleh:
Aan hairul 1302060
Rober Bastian 1302086
Silvie Prissia Mardin 1306021




JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN 2015



BAB I
PENDAHULUAN

Negara penjajah yang ingin merebut dan menguasai tanah diluar jawa salah satunya adalah Belanda. Salah satu faktor yang mendorong kedatangan Belanda ke luar jawa adalah factor ekonomi yaitu untuk mendapatkan tanah jajahan baru. Salah satu daerah diluar pulau jawa yang ingin dikuasai belanda yaitu jambi salah satu daerah yang mempunyai sumber daya alam berupa rempah-rempah yang melimpah. Itulah yang membuat bangsa belanda ingin menguasai negeri jambi. Akan tetapi dengan ketangguhan dan kegigihan Sultan, Belanda mampu beliau usir dari tanah jambi.
Pada perlawanan siak, Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yg berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.














BAB II
PEMBAHASAN

“Ekspansi Kolonial Keluar Jawa 1850 – 1870”

Sumatra
1.      Riau
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yg berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.[1]
selain itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yg berkedudukan di Tanjung Pinang. Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yg telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yangg mendapat perlindungan dari Inggris.
Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda, sesudah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda. Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yg pernah dikuasainya.

2.      Kesultanan Jambi
Jambi dengan luas area 205,38 km2 dan 185 km panjang. Dan letak geografis yang strategis yaitu bersebelahan langsung dengan selat malaka yang merupakan jalur perdagangan Eropa Asia yang sangat vital pada waktu itu. Selain itu jambi salah satu daerah yang mempunyai sumber daya alam berupa rempah-rempah yang melimpah. Itulah yang membuat bangsa lain ingin menguasai negeri jambi. Akan tetapi dengan ketangguhan dan kegigihan Sultan, Belanda mampu beliau usir dari tanah jambi. Jadi tidaklah mengherankan jikalau namanya dikenang dan dikagumi oleh rakyat jambi sebagai orang nomer satu yang berkontribusi dalam memperjuangkan tanah pilih pusako betuah Jambi.
Sultan Thaha Syaifuddin, seorang pahlawan Nasional yang lahir di Jambi pada tahun 1816 di lingkungan istana Tanah Pilih Kampung Gedang kerajaan Jambi.[2] Merupakan sosok yang tak pernah gentar dalam membela tanah air. Secara tegas dan berani beliau menyatakan penolakan terhadap kekuasaan pemerintah Belanda.[3]
Di masa putra mahkota ini hidup, jambi telah memiliki sejarah perjuangan yang cukup lama. Pada awal abad ke-19 atau pada saat dia dilahirkan tahun 1816, pemerintahan kerajaan yang ditampuk oleh sang ayah ini sudah bercorak islam. Corak lama yang menganut unsur Hindu-Buddha telah ditinggalkan. Sejak awal abad ke-19 itu pula, sisa kejayaan Sriwijaya dan Singasari maupun Majapahit yang pernah mampir di jambi sebelumnya telah berubah total. Bentuk kerajaan pun diubah menjadi kesultanan. Dan, Sultan Fachruddin, ayah sultan taha yang pemerintahannya selalu di bawah tekanan Belanda, menjadi sultan Jambi pertama yang beragama islam.


Sebab Perang
Belanda sebelumnya telah berhasil menekan sang Sultan untuk menandatangani surat perjanjian yang isinya harus mengakui hak serta kekuasaan penjajah dalam perdagangan di wilayah jambi. Tindakan yang merugikan jambi ini memang tak kuasa ditolak oleh Sultan Fachruddin kala masih hidup. Karenanya sebagai penerus pemerintahannya, Sultan Taha menghadapi tugas mahaberat. Jiwanya yang penuh diliputi ilmu ketauhidan terus berontak melihat sikap belanda dan VOC yang akan mengambil kekuasaan penuh yang ditinggalkan ayahandanya. Dia ingin agar jambi dapat kembali menjadi kesultanan yang berdaulat penuh atas rakyatnya. Maka untuk memulihkan kondisi semula, tindakan pertama yang akan dilakukannya itu suatu ketika diungkapkan kepada sang paman, Sultan Abdurachman.
“Paman Sultan, aku sama sekali tak dapat menerima tindakan belanda ini. Aku tak suka bila jambi terjual begitu saja kepada kekuatan asing. Sanggupkah kita melawan mereka sekarang paman?”. “Benar, Ananda Pangeran. Jika dengan perlawanan senjata dan pengerahan rakyat ke medan tempur, sudah tentu tak mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan Belanda. Untuk itu, kita harus mencari cara yang praktis. Nah, bagaimana jika kita mengadakan hubungan dengan bangsa Amerika? Sebentar lagi kaum pedagang asing itu akan datang ke jambi untuk mencari rempah-rempah”. Tepat sekali saran paman. Dengan pegabungan dua kekuatan nantinya, sekaligus aku akan mengeluarkan pula maklumat untuk tak mengakui perjanjian lama yang pernah ditandatangani oleh ayahanda dahulu. Bergegaslah, Paman. Sebab, menurut kabar di palembang pun pihak sultan setempat tengah memberontak pula melawan Belanda. Ini kesempatan bagi jambi untuk mengacaukan mereka.”
Jalannya perang
Menjelang perlawanan besar itu tiba, pihak jambi dan Belanda tiba-tiba serentak dibuat kaget. Sultan merasa kaget karena para pedagang Amerika yang akan siap membantunya telah ditangkap Belanda sebelum mengadakan aksi penyerangan. Rahasia ini bocor akibat laporan dari sultan Nachruddin yang merasa iri dan ingin memencing di air keruh. Adik nomor dua sultan pertama Jambi ini berharap, dengan jasanya itu kelak dia pun akan diangkat menjadi sultan pula oleh Belanda. Di sisi lain, Belanda ternyata lebih kaget lagi. Pasalnya, bangsa penjajah ini tak menduga bahwa di samping perlawanan besar. Sultan Taha yang memimpin pasukan Jambi menyodorkan pula maklumatnya. Sultan Taha menghapus perjanjian lama, dan isi maklumat yang dibuatnya sama sekali tak mengakui hak-hak belanda atas Jambi. Belanda lalu membujuk sang Sultan untuk memperbaharui saja isi perjanjian lama. Namun, harapan Belanda ini ditolak mentah-mentah. Akhirnya, pertempuran besar pun berlangsung dengan kekalahan di pihak Belanda.
Namun, meskipun Jambi berhasil memperoleh kemenangan besar, hati Sultan sangat sedih. Pamannya, sultan Abdurachman, tewas. Sementara pamannya yang lain, yaitu paman sultan Nachruddin, kini berada di pihak Belanda dan secara tak langsung tuk mengakui pula Sultan Taha sebagai Sultan Jambi ke-3. Kemenangan ini sekaligus telah memecah dua bagian isi kesultanan Jambi. Namun, Sultan Taha terus memimpin rakyat. Kebencian terhadap pamannya yang berkhianat itu justru membuat dia lebih dekat lagi mengikis habis bentuk penindasan serta penjajahan di bumi Jambi.
Akhirnya, Sultan Taha berhasil melaksanakan niatnya. Dia memimpin pemerintahan baru dengan bekal pusaka Keris Siginje. Sebagai tanda kebesaran kesultanannya. Sultan Nachruddin pun diusir. Dia di nobatkan sebagai Sultan Jambi III dengan gelar Pangeran Jayaningrat. Pemerintahannya yang sah dan kini menghadapi perlawanan segitiga itu, dibantu oleh anak Sultan Abdurachman yang juga adik sepupunya bernama Raden Muhammad, yang kemudian bergelar Pangeran Kartadiningrat. Sementara itu, pihak Belanda menyusun kembali kekuatan baru. Bala bantuan yang akan dipakai menebus kekalahan perangnya dengan kesultanan Jambi cepat didatangkan dari Palembang. Dibantu Sultan Nachruddin yang telah menjadi antek sekutunya, kemudian terjadilah perang kedua. Istana kesultanan diserang dan dihancurkan, Sultan Taha terpaksa meninggalkan istananya yang porak-poranda. Dia pergi mengungsi ke wilayah Muara Tembesi.
Bersama sisa-sisa pengikut setianya, dia lalu melancarkan perang gerilya. Sultan Nachruddin resmi diangkat Belanda sebagai sultan baru  yang ke-4. Tetapi, rakyat Jambi tetap tak mau mengakuinya. Pusaka keris Sigenje yang dipakai sebagai bukti kekuasaan raja masih ada di tangan Sultan Taha. Untuk itu, sekalipun Belanda memberlakukan pasal perjanjian baru yang lebih merugikan serta hanya menguntungkan pihak VOC, pihak rakyat jambi tetap memihak kepada Sultan Taha. Untung saja menyadari posisinya yang sangat kurang menguntungkan karena di satu sisi sebagai sultan baru dia tak diakui kedaulatannya oleh rakyat, sementara di pihak lain Belanda pun mengadakan penekanan terhadapnya, akhirnya dengan sisa-sisa semangat nasionalismenya Sultan Nachruddin kembali berbelok arah. Secara diam-diam, dia pun menyatakan bersalah kepada keponakannya di tempat pengungsian. Pernyataan yang disampaikan secara langsung diterima dengan gembira oleh Sultan Taha.
Kemudian, dengan diam-diam pula tanpa diketahui Belanda, sang sultan gadungan Nachruddin segera memindahkan pusat pemerintahannya dari Jambi ke suatu wilayah bernama Dusun Tengah, yang lokasinya sekarang berdekatan sekali dengan Muara Tembesi yang kala itu menjadi pusat kegiatan gerilya Sultan Taha. Pihak Belanda pun berhasil dikecoh sampai waktu yang cukup lama oleh kedua paman dan keponakan yang sama-sama bertekad untuk bersatu padu kembali membela tanah jambi itu. Perlawanan demi perlawanan pun terus digencarkan sampai batas waktu yang tak terhingga. Dikabarkan, pihak jambi tetap berada di bawah kendali Sultan Taha dalam posisi gerilyanya hingga mencapai usia 85 tahun dan tetep tak mengakui kehadiran Belanda maupun organisasi dagangnya, VOC.
Akhir perang
Waktu itu pasukan Sultan Taha dan Sultan Nachruddin terus mengadakan perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung dari waktu ke waktu di seluruh wilayah jambi. Mulai dari wilayah Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal, perlawanan rakyat Jambi terus bergolak. Sultan Taha sendiri tak mempunyai pikiran untuk menyerah sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan semakin parah. Tetapi bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat jambi yang tak didukung oleh persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi di wilayah Indonesia lainnya itu tetap berhasil mematahkan maklumat keji yang di buat Belanda. Kala itu, Belanda telah sempat memperluas kekuasaannya dengan kisah perjuangan yang cukup itu. Akhirnya sang sultan mengasingkan diri di sebuah daerah Tebo, sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya sebagai pahlawan yang tak pernah lelah mengusir penjajah dari tanah jambi. Bahkan pemerintah pun tak pernah menghapus nama besarnya dan bumi Jambi. Dan, sebagai tanda penghormatan dari pemerintah, kini nama Sultan Taha tersebut terukir abadi sebagai nama bandar udara dan salah satu perguruan tinggi di provinsi tersebut.[4]
Kalimantan                                                                        
1.      Perang Banjar (1859 - 1905)
Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil Pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.
Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayatullah karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayatullah menjadi Mangkubumi.
Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayatullah yang menjabat sebagai Mangkubumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari mengajak Pangeran Hidayatullah untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Pangeran Antasari
Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron sekaligus lokasi tambang Nassau Oranje milik Belanda, benteng diserbu bersama Panglima Perangnya Demang Lehman. Pertempuran di benteng Pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Sisa Benteng Pengaron
Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859, pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.
Lukisan Benteng Tabanio
Sementara itu Pangeran Hidayatullah makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayatullah menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayatullah, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayatullah menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Pangeran Hidayatullah
Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh Pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’. Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat. Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman.
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah, Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Perang Banjar berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
SULAWESI
Tahun 1816 Belanda kembali datang ke Sulawesi (Selatan). Kembalinya Belanda ke Sulawesi Selatan tidaklah merubah sikap penentangan negara- negara Bone, Ternate dan Suppa terhadap kekuasaan asing. Sedangkan Gowa hanya menghadapi kekuasaan asing dengan cara bersikap lunak.[5]
Kekuasaan Belanda si Sulawesi selatan tidak cukup mampu untuk menekan sama sekali kekuasaan raja- raja kerajaan di Sulawesi Selatan. Sulawesi (Selatan) sangat sulit untuk dikuasai oleh Belanda. Ketika Gubernur Jenderal Van der Capelen tiba di Makasar pada bulan Agustus 1824, ia melihat bahwa kekuatan pasukan Belanda disana hanya terdiri daari 30 orang opsir dan 371 orang serdadu. Sehingga penguasa kolonial melakukan pendekatan kepada raja- raja yang mau berpihak kepadanya.
Dalam perkembangan berikutnya penguasa kolonial Belanda berkehendak untuk melakukan perubahan terhadap isi perjanjian Bongaya. Namun keinginan ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari raja- raja di Sulawesi. Bahkan mereka berusaha menghalangi usaha penanaman kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Sulawesi (Selatan).
Adanya ketidakseimbangan kekuatannya dengan Belanda raja La Patau mengundurkan diri ke daerah pedalaman yang lebih aman. Tahta kerajaan diserahkannya kepada seorang saudara perempuannya yang bernama Da Eng Taningsanga. Raja ini bersedia mendatangani perjanjian perubahan perjanjian Bongaya.
Pada 4 Agustus 1824 pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Laut Buys mendarat di Pare- pare. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan Suppa dengan perlawanan yang kuat. Dalam pertempuran ini pasukan Belanda memperoleh bantuan dari pasukan Sidenreng. tetapi pasukan Belanda tidak berhasil menaklukkan pasukan- pasukan Suppa.
Penyerangan ke Suppa dilakukan lagi pada bulan Agustus 1824. Dalam penyerangan ini Belanda berhasil mempertahankan diri dari serangan yang dilakukan oleh pasukan Suppa. Walaupun demikian Belanda harus menerima kenyataan pahit yaitu beberapa perwiranya tewas dalam petempuran tersebut.
Dalam bulan Oktober pasukan Bone menyaksikan gerakan yang dilakukan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan kapten Le Clerq. Gerakan pasukan ini dihadang oleh pasukan Bone dan terjadilah pertempuran di antara keduanya. Dalam pertempuran ini pasukan Bone memperoleh kemenangan dan menguasai jalan penting yang menghubungkan Makassar dan Maros yang terletak di sebelah utara Makssar.
Bone merupakan lawan yang cukup kuat bagi Belanda, sehingga Belanda melakukan pengiriman ekspedisi militer besar- besaran untuk mengalahkan perlawanan yang dilakukan oleh Bone..
Akhirnya Belanda mengirimkan ekspedisi yang berkekuatan besar yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Geen. Tugas utamanya ialah memperbesar kekuatan pasukan Belanda. Tanggal 20 Januari 1825 Van Geen telah berada di Makassar dan menyiapkan rencana pemberangkatan pasukan ekspedisinya. Dalam persiapan ekspedisi ini ternyata Van Geen mengalami kesulitan  karena perlengkapan yang sangat terbatas dan kesehatan sejumlah prajuritnya yang sangat buruk.
Akhirnya pasukan Van Geen begerak ke daerah Selatan, kemudian berhadapan dengan pasukan Bone yang berkedudukan di Bonthain. Dalam pertempuran ini pasukan Belanda berhasil mendesak pasukan Bone. Pertahanan Bone di Bulukumba terpaksa ditinggalkan dan berhasil diduduki oleh pasukan Belanda.
Pertempuran terjadi ketika pasukan Bone yang berkedudukan di benteng- benteng Kajang dan Sinjai mendapat serangan dari Belanda. Semuanya benteng Kerajaan Bone ini pada akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Untung menjaga benteng- benteng yang telah diduduki Belanda menggunakan tenaga bantuan dari Gowa dan Maluku.
Faktor yang menyebabkan lemahnya kekuatan Bone ialah diserahkan kedudukan raja Ternate kepada seorang wanita yang berpihak kepada Belanda. Dengan demikian Ternate dapat dijadikan sekutu Belanda. Negara Segeri tetap melakukan perlawanan terhadap penduduk Belanda.
Salah seorang pemimpin perlawanan yang terkenal dan sangat disegani ialah La Samenggu Daeng Kalabbu. Akan tetapi pada akhirnya perlwaanan itupun berhasil dipatahkan oleh Belanda.[6]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Waktu itu pasukan Sultan Taha dan Sultan Nachruddin terus mengadakan perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung dari waktu ke waktu di seluruh wilayah jambi. Mulai dari wilayah Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal, perlawanan rakyat Jambi terus bergolak. Sultan Taha sendiri tak mempunyai pikiran untuk menyerah sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan semakin parah. Tetapi bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat jambi yang tak didukung oleh persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi di wilayah Indonesia lainnya itu tetap berhasil mematahkan maklumat keji yang di buat Belanda.












DAFTAR PUSTAKA :
Hand out Zul Asri,sejarah Indonesia zaman pengaruh barat
Poesponegoro, Marwati Djoned 199. Sejarah nasional Indonesia. Jakarta: balai pustaka
Kartodidjo,sartono.1987. pengantar sejarah Indonesia baru, jilid 1. 1500-1900.jakarta:PT gramedia
Gamal Komandoko “Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara
Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia (2004. hlm. 41 )







[1] Hand out zul asri.hlm.54

[2] Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia (2004. hlm. 41 )
[3] Detik.com, “Sultan Thaha Tak Pernah Mati”, 11 September 2010
[4] Gamal Komandoko “Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara” (2006. Hal 54 )
[5] Kartodidjo,sartono.1992.pengantar sejarah Indonesia baru.jilid 2
[6] Kartodidjo,sartono.1992.pengantar sejarah Indonesia baru.jilid 2