SEJARAH INDONESIA ZAMAN
PENGARUH BARAT
“Ekspansi
Kolonial Keluar Jawa 1850 – 1870”
Oleh:
Aan hairul 1302060
Rober Bastian 1302086
Silvie Prissia Mardin
1306021
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Negara
penjajah yang ingin merebut dan menguasai tanah diluar jawa salah satunya adalah
Belanda. Salah satu faktor yang mendorong kedatangan Belanda ke luar jawa
adalah factor ekonomi yaitu untuk mendapatkan tanah jajahan baru. Salah satu
daerah diluar pulau jawa yang ingin dikuasai belanda yaitu jambi salah satu
daerah yang mempunyai sumber daya alam berupa rempah-rempah yang melimpah.
Itulah yang membuat bangsa belanda ingin menguasai negeri jambi. Akan tetapi
dengan ketangguhan dan kegigihan Sultan, Belanda mampu beliau usir dari tanah
jambi.
Pada
perlawanan siak, Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera
tak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan
Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri
sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan
dari keturunan Tumenggung Johor, yg berada dalam perlindungan Inggris di
Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau
Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.
BAB II
PEMBAHASAN
“Ekspansi Kolonial Keluar Jawa 1850 – 1870”
Sumatra
1.
Riau
Ekspansi
kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tak mampu dihadang oleh
Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan
Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu
juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor,
yg berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan
kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan
Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.[1]
selain itu
Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie
Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yg berkedudukan di Tanjung Pinang. Penguasaan
Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima
tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yg telah mereka buat sebelumnya
pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin
kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yangg mendapat
perlindungan dari Inggris.
Demikian
juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari
pemerintahan Hindia-Belanda, sesudah memaksa Sultan Siak menandatangani
perjanjian pada 1 Februari 1858. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura
kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja Siak mesti
mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah,
Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat
perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan
Hindia-Belanda. Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka,
kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan
Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yg
pernah dikuasainya.
2.
Kesultanan Jambi
Jambi
dengan luas area 205,38 km2 dan 185 km panjang. Dan letak geografis yang
strategis yaitu bersebelahan langsung dengan selat malaka yang merupakan jalur
perdagangan Eropa Asia yang sangat vital pada waktu itu. Selain itu jambi salah
satu daerah yang mempunyai sumber daya alam berupa rempah-rempah yang melimpah.
Itulah yang membuat bangsa lain ingin menguasai negeri jambi. Akan tetapi
dengan ketangguhan dan kegigihan Sultan, Belanda mampu beliau usir dari tanah
jambi. Jadi tidaklah mengherankan jikalau namanya dikenang dan dikagumi oleh
rakyat jambi sebagai orang nomer satu yang berkontribusi dalam memperjuangkan tanah
pilih pusako betuah Jambi.
Sultan
Thaha Syaifuddin, seorang pahlawan Nasional yang lahir di Jambi pada tahun 1816
di lingkungan istana Tanah Pilih Kampung Gedang kerajaan Jambi.[2]
Merupakan sosok yang tak pernah gentar dalam membela tanah air. Secara
tegas dan berani beliau menyatakan penolakan terhadap kekuasaan pemerintah
Belanda.[3]
Di
masa putra mahkota ini hidup, jambi telah memiliki sejarah perjuangan yang
cukup lama. Pada awal abad ke-19 atau pada saat dia dilahirkan tahun 1816,
pemerintahan kerajaan yang ditampuk oleh sang ayah ini sudah bercorak islam.
Corak lama yang menganut unsur Hindu-Buddha telah ditinggalkan. Sejak awal abad
ke-19 itu pula, sisa kejayaan Sriwijaya dan Singasari maupun Majapahit yang
pernah mampir di jambi sebelumnya telah berubah total. Bentuk kerajaan pun
diubah menjadi kesultanan. Dan, Sultan Fachruddin, ayah sultan taha yang pemerintahannya
selalu di bawah tekanan Belanda, menjadi sultan Jambi pertama yang beragama
islam.
Sebab
Perang
Belanda sebelumnya telah berhasil
menekan sang Sultan untuk menandatangani surat perjanjian yang isinya harus
mengakui hak serta kekuasaan penjajah dalam perdagangan di wilayah jambi.
Tindakan yang merugikan jambi ini memang tak kuasa ditolak oleh Sultan
Fachruddin kala masih hidup. Karenanya sebagai penerus pemerintahannya, Sultan
Taha menghadapi tugas mahaberat. Jiwanya yang penuh diliputi ilmu ketauhidan
terus berontak melihat sikap belanda dan VOC yang akan mengambil kekuasaan
penuh yang ditinggalkan ayahandanya. Dia ingin agar jambi dapat kembali menjadi
kesultanan yang berdaulat penuh atas rakyatnya. Maka untuk memulihkan kondisi
semula, tindakan pertama yang akan dilakukannya itu suatu ketika diungkapkan
kepada sang paman, Sultan Abdurachman.
“Paman Sultan, aku sama sekali tak
dapat menerima tindakan belanda ini. Aku tak suka bila jambi terjual begitu
saja kepada kekuatan asing. Sanggupkah kita melawan mereka sekarang paman?”.
“Benar, Ananda Pangeran. Jika dengan perlawanan senjata dan pengerahan rakyat
ke medan tempur, sudah tentu tak mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan
Belanda. Untuk itu, kita harus mencari cara yang praktis. Nah, bagaimana jika
kita mengadakan hubungan dengan bangsa Amerika? Sebentar lagi kaum pedagang
asing itu akan datang ke jambi untuk mencari rempah-rempah”. Tepat sekali saran
paman. Dengan pegabungan dua kekuatan nantinya, sekaligus aku akan mengeluarkan
pula maklumat untuk tak mengakui perjanjian lama yang pernah ditandatangani
oleh ayahanda dahulu. Bergegaslah, Paman. Sebab, menurut kabar di palembang pun
pihak sultan setempat tengah memberontak pula melawan Belanda. Ini kesempatan
bagi jambi untuk mengacaukan mereka.”
Jalannya perang
Menjelang perlawanan besar itu tiba,
pihak jambi dan Belanda tiba-tiba serentak dibuat kaget. Sultan merasa kaget
karena para pedagang Amerika yang akan siap membantunya telah ditangkap Belanda
sebelum mengadakan aksi penyerangan. Rahasia ini bocor akibat laporan dari
sultan Nachruddin yang merasa iri dan ingin memencing di air keruh. Adik nomor
dua sultan pertama Jambi ini berharap, dengan jasanya itu kelak dia pun akan
diangkat menjadi sultan pula oleh Belanda. Di sisi lain, Belanda ternyata lebih
kaget lagi. Pasalnya, bangsa penjajah ini tak menduga bahwa di samping
perlawanan besar. Sultan Taha yang memimpin pasukan Jambi menyodorkan pula
maklumatnya. Sultan Taha menghapus perjanjian lama, dan isi maklumat yang
dibuatnya sama sekali tak mengakui hak-hak belanda atas Jambi. Belanda lalu
membujuk sang Sultan untuk memperbaharui saja isi perjanjian lama. Namun,
harapan Belanda ini ditolak mentah-mentah. Akhirnya, pertempuran besar pun
berlangsung dengan kekalahan di pihak Belanda.
Namun, meskipun Jambi berhasil
memperoleh kemenangan besar, hati Sultan sangat sedih. Pamannya, sultan
Abdurachman, tewas. Sementara pamannya yang lain, yaitu paman sultan
Nachruddin, kini berada di pihak Belanda dan secara tak langsung tuk mengakui
pula Sultan Taha sebagai Sultan Jambi ke-3. Kemenangan ini sekaligus telah
memecah dua bagian isi kesultanan Jambi. Namun, Sultan Taha terus memimpin
rakyat. Kebencian terhadap pamannya yang berkhianat itu justru membuat dia
lebih dekat lagi mengikis habis bentuk penindasan serta penjajahan di bumi
Jambi.
Akhirnya, Sultan Taha berhasil
melaksanakan niatnya. Dia memimpin pemerintahan baru dengan bekal pusaka Keris
Siginje. Sebagai tanda kebesaran kesultanannya. Sultan Nachruddin pun diusir.
Dia di nobatkan sebagai Sultan Jambi III dengan gelar Pangeran Jayaningrat.
Pemerintahannya yang sah dan kini menghadapi perlawanan segitiga itu, dibantu
oleh anak Sultan Abdurachman yang juga adik sepupunya bernama Raden Muhammad,
yang kemudian bergelar Pangeran Kartadiningrat. Sementara itu, pihak Belanda
menyusun kembali kekuatan baru. Bala bantuan yang akan dipakai menebus
kekalahan perangnya dengan kesultanan Jambi cepat didatangkan dari Palembang.
Dibantu Sultan Nachruddin yang telah menjadi antek sekutunya, kemudian
terjadilah perang kedua. Istana kesultanan diserang dan dihancurkan, Sultan
Taha terpaksa meninggalkan istananya yang porak-poranda. Dia pergi mengungsi ke
wilayah Muara Tembesi.
Bersama sisa-sisa pengikut setianya,
dia lalu melancarkan perang gerilya. Sultan Nachruddin resmi diangkat Belanda
sebagai sultan baru yang ke-4. Tetapi, rakyat Jambi tetap tak mau
mengakuinya. Pusaka keris Sigenje yang dipakai sebagai bukti kekuasaan raja
masih ada di tangan Sultan Taha. Untuk itu, sekalipun Belanda memberlakukan
pasal perjanjian baru yang lebih merugikan serta hanya menguntungkan pihak VOC,
pihak rakyat jambi tetap memihak kepada Sultan Taha. Untung saja menyadari
posisinya yang sangat kurang menguntungkan karena di satu sisi sebagai sultan
baru dia tak diakui kedaulatannya oleh rakyat, sementara di pihak lain Belanda
pun mengadakan penekanan terhadapnya, akhirnya dengan sisa-sisa semangat
nasionalismenya Sultan Nachruddin kembali berbelok arah. Secara diam-diam, dia
pun menyatakan bersalah kepada keponakannya di tempat pengungsian. Pernyataan
yang disampaikan secara langsung diterima dengan gembira oleh Sultan Taha.
Kemudian, dengan diam-diam pula
tanpa diketahui Belanda, sang sultan gadungan Nachruddin segera memindahkan
pusat pemerintahannya dari Jambi ke suatu wilayah bernama Dusun Tengah, yang
lokasinya sekarang berdekatan sekali dengan Muara Tembesi yang kala itu menjadi
pusat kegiatan gerilya Sultan Taha. Pihak Belanda pun berhasil dikecoh sampai
waktu yang cukup lama oleh kedua paman dan keponakan yang sama-sama bertekad untuk
bersatu padu kembali membela tanah jambi itu. Perlawanan demi perlawanan pun
terus digencarkan sampai batas waktu yang tak terhingga. Dikabarkan, pihak
jambi tetap berada di bawah kendali Sultan Taha dalam posisi gerilyanya hingga
mencapai usia 85 tahun dan tetep tak mengakui kehadiran Belanda maupun
organisasi dagangnya, VOC.
Akhir perang
Waktu itu pasukan Sultan Taha dan
Sultan Nachruddin terus mengadakan perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung
dari waktu ke waktu di seluruh wilayah jambi. Mulai dari wilayah Sarolangun
Rawas, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal,
perlawanan rakyat Jambi terus bergolak. Sultan Taha sendiri tak mempunyai
pikiran untuk menyerah sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan
semakin parah. Tetapi bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat jambi yang tak
didukung oleh persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi
di wilayah Indonesia lainnya itu tetap berhasil mematahkan maklumat keji yang
di buat Belanda. Kala itu, Belanda telah sempat memperluas kekuasaannya dengan
kisah perjuangan yang cukup itu. Akhirnya sang sultan mengasingkan diri di
sebuah daerah Tebo, sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya sebagai
pahlawan yang tak pernah lelah mengusir penjajah dari tanah jambi. Bahkan
pemerintah pun tak pernah menghapus nama besarnya dan bumi Jambi. Dan, sebagai
tanda penghormatan dari pemerintah, kini nama Sultan Taha tersebut terukir
abadi sebagai nama bandar udara dan salah satu perguruan tinggi di provinsi
tersebut.[4]
Kalimantan
1. Perang Banjar (1859 - 1905)
Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808)
mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu
Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan
kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil
membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan
Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata
diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan Tahmidillah II
menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir,
salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan
Tahmidillah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya
dibantu oleh Belanda dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat
ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II
atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan
daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai seorang
putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil
Pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi
kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama
kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang dalam tentang
Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah
adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh
dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan
disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan
Selatan, khususnya Banjarmasin.
Wafatnya Sultan Tahmidillah II
digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun;
kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan
Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah
dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran
Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran
Hidayatullah karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi
keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan
dan mengangkat Pangeran Hidayatullah menjadi Mangkubumi.
Perlakuan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan terhadap
rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi
seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil
ke depan untuk memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan
Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi
rakyat, termasuk pangeran Hidayatullah yang menjabat sebagai Mangkubumi. Pada
pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April
1859, Pangeran Antasari mengajak Pangeran Hidayatullah untuk bersama-sama
melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Pangeran Antasari
Dua minggu kemudian, tepatnya
tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari
meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron sekaligus lokasi tambang Nassau
Oranje milik Belanda, benteng diserbu bersama Panglima Perangnya Demang Lehman.
Pertempuran di benteng Pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di
berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Haji
Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Sisa Benteng Pengaron
Pertempuran mempertahankan benteng
Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak
pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur
pada bulan Desember 1859, pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860.
Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust
milik Belanda di Sungai Barito.
Lukisan Benteng Tabanio
Sementara itu Pangeran Hidayatullah
makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang
dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran
Hidayatullah menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda
secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860.
Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia
Belanda.
Perlawanan semakin meluas,
kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan
pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayatullah, langsung memimpin
pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena
persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran
Antasari dan Pangeran Hidayatullah terus terdesak serta semakin lemah
posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena
kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayatullah menyerah pada tahun 1861 dan
dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Pangeran Hidayatullah
Setelah Pangeran Hidayat menyerah,
maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh Pangeran Antasari,
baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris
kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan
umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862,
bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk
Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama
dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari
menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’. Tidak ada alasan lagi bagi
Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan
kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab
sepenuhnya kepada Allah dan rakyat. Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia
sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima
Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin
sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung
terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari
Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan
Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu
Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai
Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri,
Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri),
Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman.
Pertemuan diakhiri setelah mendengar
suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian,
pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
(Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat, namun
perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti
Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada
tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan
Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman
dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan
yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin
pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid,
Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat
Kalimantan Timur, menantu Khalifah, Pangeran Perbatasari tertangkap oleh
Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian
Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada
tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran
di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Perang Banjar berlangsung dari tahun
1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi
yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati
untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin.
SULAWESI
Tahun
1816 Belanda kembali datang ke Sulawesi (Selatan). Kembalinya Belanda ke
Sulawesi Selatan tidaklah merubah sikap penentangan negara- negara Bone,
Ternate dan Suppa terhadap kekuasaan asing. Sedangkan Gowa hanya menghadapi
kekuasaan asing dengan cara bersikap lunak.[5]
Kekuasaan
Belanda si Sulawesi selatan tidak cukup mampu untuk menekan sama sekali
kekuasaan raja- raja kerajaan di Sulawesi Selatan. Sulawesi (Selatan) sangat
sulit untuk dikuasai oleh Belanda. Ketika Gubernur Jenderal Van der Capelen
tiba di Makasar pada bulan Agustus 1824, ia melihat bahwa kekuatan pasukan
Belanda disana hanya terdiri daari 30 orang opsir dan 371 orang serdadu.
Sehingga penguasa kolonial melakukan pendekatan kepada raja- raja yang mau
berpihak kepadanya.
Dalam
perkembangan berikutnya penguasa kolonial Belanda berkehendak untuk melakukan
perubahan terhadap isi perjanjian Bongaya. Namun keinginan ini tidak sepenuhnya
mendapat dukungan dari raja- raja di Sulawesi. Bahkan mereka berusaha
menghalangi usaha penanaman kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Sulawesi
(Selatan).
Adanya
ketidakseimbangan kekuatannya dengan Belanda raja La Patau mengundurkan diri ke
daerah pedalaman yang lebih aman. Tahta kerajaan diserahkannya kepada seorang
saudara perempuannya yang bernama Da Eng Taningsanga. Raja ini bersedia
mendatangani perjanjian perubahan perjanjian Bongaya.
Pada
4 Agustus 1824 pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Laut Buys mendarat di
Pare- pare. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan Suppa dengan perlawanan
yang kuat. Dalam pertempuran ini pasukan Belanda memperoleh bantuan dari
pasukan Sidenreng. tetapi pasukan Belanda tidak berhasil menaklukkan pasukan-
pasukan Suppa.
Penyerangan
ke Suppa dilakukan lagi pada bulan Agustus 1824. Dalam penyerangan ini Belanda
berhasil mempertahankan diri dari serangan yang dilakukan oleh pasukan Suppa.
Walaupun demikian Belanda harus menerima kenyataan pahit yaitu beberapa
perwiranya tewas dalam petempuran tersebut.
Dalam
bulan Oktober pasukan Bone menyaksikan gerakan yang dilakukan oleh pasukan
Belanda di bawah pimpinan kapten Le Clerq. Gerakan pasukan ini dihadang oleh
pasukan Bone dan terjadilah pertempuran di antara keduanya. Dalam pertempuran
ini pasukan Bone memperoleh kemenangan dan menguasai jalan penting yang
menghubungkan Makassar dan Maros yang terletak di sebelah utara Makssar.
Bone
merupakan lawan yang cukup kuat bagi Belanda, sehingga Belanda melakukan
pengiriman ekspedisi militer besar- besaran untuk mengalahkan perlawanan yang
dilakukan oleh Bone..
Akhirnya
Belanda mengirimkan ekspedisi yang berkekuatan besar yang dipimpin oleh Mayor
Jenderal Van Geen. Tugas utamanya ialah memperbesar kekuatan pasukan Belanda.
Tanggal 20 Januari 1825 Van Geen telah berada di Makassar dan menyiapkan
rencana pemberangkatan pasukan ekspedisinya. Dalam persiapan ekspedisi ini
ternyata Van Geen mengalami kesulitan
karena perlengkapan yang sangat terbatas dan kesehatan sejumlah
prajuritnya yang sangat buruk.
Akhirnya
pasukan Van Geen begerak ke daerah Selatan, kemudian berhadapan dengan pasukan
Bone yang berkedudukan di Bonthain. Dalam pertempuran ini pasukan Belanda
berhasil mendesak pasukan Bone. Pertahanan Bone di Bulukumba terpaksa
ditinggalkan dan berhasil diduduki oleh pasukan Belanda.
Pertempuran
terjadi ketika pasukan Bone yang berkedudukan di benteng- benteng Kajang dan
Sinjai mendapat serangan dari Belanda. Semuanya benteng Kerajaan Bone ini pada
akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Untung menjaga benteng- benteng yang telah
diduduki Belanda menggunakan tenaga bantuan dari Gowa dan Maluku.
Faktor
yang menyebabkan lemahnya kekuatan Bone ialah diserahkan kedudukan raja Ternate
kepada seorang wanita yang berpihak kepada Belanda. Dengan demikian Ternate
dapat dijadikan sekutu Belanda. Negara Segeri tetap melakukan perlawanan
terhadap penduduk Belanda.
Salah
seorang pemimpin perlawanan yang terkenal dan sangat disegani ialah La Samenggu
Daeng Kalabbu. Akan tetapi pada akhirnya perlwaanan itupun berhasil dipatahkan
oleh Belanda.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Waktu itu pasukan Sultan Taha dan
Sultan Nachruddin terus mengadakan perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung
dari waktu ke waktu di seluruh wilayah jambi. Mulai dari wilayah Sarolangun
Rawas, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal,
perlawanan rakyat Jambi terus bergolak. Sultan Taha sendiri tak mempunyai
pikiran untuk menyerah sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan
semakin parah. Tetapi bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat jambi yang tak
didukung oleh persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi
di wilayah Indonesia lainnya itu tetap berhasil mematahkan maklumat keji yang
di buat Belanda.
DAFTAR PUSTAKA :
Hand out Zul
Asri,sejarah Indonesia zaman pengaruh barat
Poesponegoro, Marwati
Djoned 199. Sejarah nasional Indonesia. Jakarta: balai pustaka
Kartodidjo,sartono.1987.
pengantar sejarah Indonesia baru, jilid 1. 1500-1900.jakarta:PT gramedia
Gamal Komandoko “Kisah
124 Pahlawan & Pejuang Nusantara
Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia (2004.
hlm. 41 )
[1]
Hand
out zul asri.hlm.54
[2]
Arya
Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia
(2004. hlm. 41 )
[4]
Gamal Komandoko “Kisah 124 Pahlawan & Pejuang Nusantara” (2006. Hal 54 )
[5]
Kartodidjo,sartono.1992.pengantar
sejarah Indonesia baru.jilid 2
[6]
Kartodidjo,sartono.1992.pengantar
sejarah Indonesia baru.jilid 2